BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemikiran Ekonomi Islam muncul sejak zaman Rasulullah Saw, dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kehidupan bermasyarakat, setelah itu digantikan oleh penerusnya yaitu khaulafaurasyidin serta khalifah lainnya dalam menata ekonomi negara. Sistem ekonomi Islam terbentuk secara berkala dan berdasarkan paradigma Islam. Para cendekiawan muslim telah memberikan kontribusi besar terhadap ekonomi Islam.
Permasalahannya adalah bagaimana ditemukan kembali jejak-jejak pemikiran munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal-haram atau berprinsip syariat Islam. Kelangkaan tentang kajian pemikiran ekonomi dalam Islam sangat tidak menguntungkan karena, sepanjang sejarah Islam para pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya dengan sedemikian rupa, sehingga terkondisikan mereka dianggap sebagai para pencetus ekonomi Islam sesungguhnya. Dalam makalah ini akan dipaparkan pemikir ekonomi pada masa klasik dengan tokoh Abu Ubaid (150-224 H).
Rumusan Masalah
Bagaimana biografi Abu Ubaid…?
Bagaimana latar belakang kehidupan Abu Ubaid…?
Bagaimana isi format dari karya Abu Ubaid…?
Bagimana pandangan ekonomi Abu Ubaid…?
Tujuan
Mengetahui biografi dan latar belakang kehidupan Abu Ubaid.
Mengetahui pandangan ekonomi Abu Ubaid.
Mengetahui isi karya Abu Ubaid.
BAB II
PEMBAHASAN
Riwayat Hidup Abu Ubaid
Abu Ubaid yang dikenal sebagai bapak ekonomi Islam pertama. Nama lengkapnya adalah Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia dilahirkan pada tahun 150 H dikota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanista. Setelah memperoleh ilmu yang memadai dikota kelahirannya karena berkembangnya madzhab Hanafi, dan pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah, dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya, antara lain mencangkup ilmu tata bahasa Arab, qiraat, tafsir, hadis, dan fiqh. Pada tahun192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadhi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, penulis kitab Al-Amwah ini tinggal di baghdad selama10 tahun. Pada Tahun 219 H, setelah berhaji, ia menetap di mekkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.
Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadits (muhaddits) dan ahli fiqh (fuqaha) terkemuka pada masa hidupnya. Selama menjabat qadhi di Rarsus, ia sering menangani berbagai kasus pertanaman dan perpajakan serta menyelesaikan dengan sangat baik. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Pasri ke bahasa Arab juga menunjukkan bahwa Abu Ubaid sedikit banyak menguasai bahasa tersebut.
Karena sering terjadi pengutipan kata-kata Amr dalam KitabAl-Al-Amwal, tampaknya, pemikiran-pemikiran Abu Ubaid dipengaruhi oleh Abu Amr Abdurrahman ibn Amr Al-Awzai, serta ulama-ulama Suriah lainnya sesama ia menjadi qadhi di Tarsus. Kemungkinan ini, antara lain, dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu Ubaid terhadap permasalahan militer, politik, dan fiskal yang dihadapi pemerintah daerah Tarsus.
Berbeda halnya dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung tentang masalah kelemahan sistem pemerintahan serta pemerintahan serta penanggulannya. Sekalipun demikian, Kitab Al-Amwal dapat dikatakan lebih kaya dari pada Kitab Al-Kharaj dalam hal kelengkapan hadits dan pendapat para sahabat, tabiit, dan tabiin. Dalam hal ini, fokus perhatian Abu Ubaid tampaknya lebih tertuju pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika politik suatu pemerintahan dari pada teknik efisiensi pengelolaannya.
Latar Belakang Kehidupan dan Corak Pemikiran Abu Ubaid.
Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadis dan ahli fiqih terkemuka di masa hidupnya. Selama menjabat qadi di Tarsus, ia sering menangani beberapa kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan sangat baik. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Parsi ke bahasa arab juga menunjukkan bahwa Abu Ubaid sedikit banyak menguasai nahasa tersebut.
Karena sering terjadi pengutipan kata-kata Amr dalam kitab Al-Amwal, tampakknya, pemikiran-pemikiran Abu Ubaid dipengaruhi oleh Abu Amr Abdurrahman ibn Amr Al-AwzaI seta ulama-ulama Suriah lainnya semasa ia menjadi qadi di Tarsus. Kemungkinan ini, antara lain, dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu Ubaid terhadap permasalahan militer, politik dan fiscal yang dihadapi pemerintah daerah Tarsus.
Berbeda halnya dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung tentang masalah kelemahan sistem pemerintah serta penanggulangannya. Namu demikian, Kitab al-Amwal dapat dikatakan lebih kaya dari pada Kitab al-Kharaj dalam hal kelengkapan hadis dan pendapat para sahabat, tabiin san tabiit tabiin. Dalam hal ini, fokus perhatian Abu Ubaid tampaknya lebih tertuju pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika politik suatu pemerintah daripada teknik efisiensi pengelolaannya. Sebagai contoh, Abu Ubaid, lebih tertarik membahas masalah keadilan redistributive dari sisi “apa” daripada “bagaimana”.
Filosofi yang dikembangkan Abu Ubaid bukan merupakan jawaban terhadap berbagai permasalahan social, politik dan ekonomi yang diimpementasikan melalui kebijakan-kebijakan praktis, tetapi hanya merupakan sebuah pendekatan yang bersifat professional dan teknokrat yang bersandar pada kemampuan teknis. Dengan demikian, tanpa menyimpang dari prinsip keadilan dan masyarakat beradab, pandangan-pandangan Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islami yang berakar dari pendekatannya yang bersifat holistic dan teologis terhadap kehidupan manusia di dunia dan akhirat, baik yang bersifat individual maupun sosial.
Berdasarkan hal tersebut, Abu Ubaid berhasil mejadi seorang cendekiawan muslim terkemuka pada awal abad ketiga yang menetapkan revitalisasi sistem perekonomian berdasarkan Al-Quran dan Hadis melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan institusinya. Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik ekonomi islami, yang berakar dari ajaran Al-quran dan Hadis, mendapatkan tempat yang eksekusif serta diekspresikan dengan kuat dalam pola pemikiran Abu Ubaid. Berkat pengetahuan dan wawasannya yang begitu luas dalam berbagai bidang ilmu, beberapa ulama Syafiiyah dan Hanabilah mengklaim bahwa Abu Ubaid berasal dari mazhab mereka, walaupun fakta-fakta menunjukkan bahwa Abu Ubaid adalah seorang fuqaha yang independen. Dalam kitab Al-Amwal, Abu Ubaid tidak sekalipun menyebut nama Abdullah Muhammad Ibn Idris Al-Syafii maupun nama Ahmad ibn Hambal. Sebaliknya, Abu Ubaid sering kali mengutip pandangan Malik ibn Anas, salah seorang gurunya yang juga guru Al-Syafii. Disamping itu, dia juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn Al-Hasan Al-Syaibani, tetapi hampir seluruh pendapat mereka ditolaknya. Disisi lain, Abu Ubaid pernah dituduh oleh Husain Ibn Ali Al-Karabisi sebagai seorang plagiator terhadap karya-karya Al-Syafii, termasuk dalam hal penulisan kitab Al-Amwal. Namun demikian, kebenaran hal ini sangat sulit untuk dibuktikan mengingat Abu Ubaid dan Al-SyafiI ( Termasuk Ahmad Ibn Hambal )pernah belajar dari ulama yang sama, bahkan mereka saling belajar satu sama lainnya. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika terdapat kesamaan dalam pandangan-pandangan antara kedua tokoh besar tersebut, sekalipun terkadang Abu ubaid mengambil posisi yang berseberangan dengan Al-SyafiI dengan tanpa menyebut nama.
Isi, Format dan Metodologi Kitab al-Amwal.
Secara literal al-Amwal (tunggal, mal) berarti kekayaan atau keuangan. Dari catatan sejarah kita melihat sekurang-kurangnya enam buku telah disusun dengan judul al-Amwal. Dari enam buku ini, hanya tiga yang telah dipublikasikan hingga saat ini. Kitab al-Amwal merupakan karya yang sangat sistematis dan komprehensif tentang masalah keuangan publik. Abu Uabid mendasarkan bukunya pada ayat-ayat Al-quran, sunnah Nabi, praktik para khalifah yang salih dan menyelidiki berbagai penafsiran. Buku ini merupakan kumpulan pendapat tentang masalah keuangan dan pengelolaan keuangan negara dalam konteks historis dan fiqih. Dalam buku ini juga memaparkan 2000 ucapan tentang masalah-masalah keuangan. Kitab al-Amwal dibagi menjadi beberapa bagian dan bab. Pada bab pendahuluan, Abu Ubaid membahas hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya serta hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintahnya. Pada bab selanjutnya kitab ini menguraikan berbagai jenis pemasukan negara yang dipercayakan kepada penguasa atas nama rakyat serta berbagai landasan hukumnya dalam Al-quran dan sunnah. Dalam bab ini Abu Ubaid memberikan prioritas pada pendapatan negara yang menjadi hak Rasulullah seperti fai, bagian khums dan safi, serta pengalokasiannya di masa Rasulullah maupun setelahnya. Pada bagian-bagian berikutnya ketiga hal tersebut menjadi kerangka dasar pemikiran dalam kitab ini tentang 3 sumber utama penerimaan negara, yakni : fai, khums dan sodaqoh.
Tiga bagian pertama dari kitab al-Amwal meliputi beberapa bab yang membahas penerimaan fai. Walaupun menurut Abu Ubaid fai mencakup pendapatan negara yang berasal dari jizyah, kharaj dan usr, tetapi usr dibahas dalam bab sedekah. Sebaliknya ghanimah dan fidyah yang tidak termasuk dalam definisi tersebut dibahas bersama dengan fai. Pada bagian keempat berisi pembahahasan tentang pertanahan, administrasi, hukum internasional dan hukum perang. Pada bagian kelima membahas tentang distribusi fai dan pada bagian keenam membahas tentang iqta, ihya al-mawat dan hima dua bagian terakhir ini masing-masing didedikasikan untuk membahaskhums dan sedekah.
Dari hasil penelaahan tersebut, tampak bahwa kitab al-Amwal secara khusus memfokuskan perhatiannya pada masalah keuangan publik (public finance). Sekalipun mayoritas materi yang ada di dalamnya membahas tentang administrasi pemerintahan secara umum. Kitab al-Amwal menekankan beberapa isu mengenai perpajakan dan hukum pertanahan serta hukum administrasi dan hukum internasional. Pada masa Abu Ubaid pertanian dipandang sebagai sektor usaha yang baik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar, makanan dan juga merupakan sumber pendapatan negara. Oleh karena itu, Abu Ubaid mengarahkan sasarannya pada legitimasi sosio-politik-ekonomi yang stabil dan adil. Abu Ubaid dianggap sebagai seorang mujtahid yang independen karena kehandalannya dalam melakukan istimbath hukum dari Al-quran dan hadis, sehingga dapat menghasilkan suatu karya yang sistematis tentang kaidah-kaidah keuangan (financial maxims), terutama yang berkaitan dengan perpajakan. Dalam mengkaji sebuah permasalahan yang memerlukan ketentuan hukum, Abu Ubaid selalu mempertimbangkan maqasid syariah dengan menempatkan manfaat bagi publik (al-maslahah al ammah) sebagai penentu akhir.
Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi kitab Al-Amwal dievaluasi dari sisi filosofi hukum akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid, pengimplementasian prinsip-prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan Negara; jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik ia akan berpihak pada kepentingan publik. Tulisan-tulisan Abu Ubaid yang lahir pada masa keemasan dinasti Abbasiyah menitikberatkan pada berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak khalifah dalam mengambil suatu kebijakan atau wewenang dalam memutuskan suatu perkara selama tidak bertentangan dengan ajaran islam dan kepentingan kaum muslimin. Berdasarkan hal ini, Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan kepada Negara ataupun langsung kepada pada penerimanya, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah dan, jika tidak, maka kewajiban agama di asumsikan tidak ditunaikan. Disamping itu, Abu Ubaid mengakui otoritas penguasa dalam pemutusan, demi kepentingan publik, apakah akan membagikan tanah taklukan kepada para penakluk atau membiarkan kepemilikannya tetap pada penduduk setempat. Lebih jauh, detelah mengungkap alokasi khums, ia menyatakan bahwa seorang penguasa yang adil dapat memperluas berbagai batasan yang telah ditentukan apabila kepentingan publik sangat mendesak.
Di sisi lain, Abu Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan Negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Dengan kata lain, perbendaharaan Negara harus digunakan untuk kepentingan publik. Ketika membahas tentang tarif atau persentase untuk kharaj dan jizyah, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan financial penduduk non muslim yang dalam terminologi finansial modern disebut sebagai capacity to pay dengan kepentingan dari golongan muslim yang berhak menerimanya. Kaum muslimin dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk non muslim melebihi apa yang diperbolehkan dalam perjanjian perdamaian.
Abu Ubaid juga menyatakan bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan, bahkan dapat diturunkan apabila terjadi ketidakmampuan membayar. Lebih jauh, ia menyatakan bahkan jika seorang penduduk non-muslim tersebut mengajukan permohonan bebas hutang dan dibenarkan oleh saksi muslim, barang pedagangan penduduk non-muslim tersebut yang setara dengan jumlah utang yang dibebaskan dari bea cukai. Di samping itu, Abu Ubaid menekankan kepadam di satu sisi, petugas pengumpul kharaj, jizyah, ushurm atau zakat untuk tidak menyiksa masyarakat dan di lain sisi, masyarakat agar memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan sepantasnya. Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasiatau favoritismem penindasan dalam perpajakan serta upaya menghindari pajak. Pandangan Abu Ubaid yang tidak merujuk pada tingkat kharaj yang diterapkan oleh Khalifah Umar ataupun pengamatannya terhadap permasalahan yang timbul dari kebijakan peningkatan dan penurunan tingkat kharaj berdasarkan situasi dan kondisi, menunjukkan bahwa Abu Ubaid mengadopsi kaidah fiqih “Ia yunkaru taghayyiru al-fatwa bi taghayyuril azminati” ( keberagaman aturan dan hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan ). Namun demikian, baginya, keberagaman tersebut hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad.
Dikotomi Badui- Urban
Pembahasan mengenai dikotomi badui-urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fai. Abu Ubaid menegaskan bahwa, bertentangan dengan kaum badui, kaum urban ( Perkotaan ):
Ikut serta dalam keberlangsungan Negara dengan berbagi kewajiban administratif dari semua kaum muslimin.
Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka.
Menggalakkan pendidikan melalui proses belajar mengajar al-quran dan sunnah serta penyebaran keunggulannya.
Memberikan konstribusi terhadap keselarasan social melalui pembelajaran dan penerapan hudud.
Memberikan contoh universalisme islam dengan shalat berjamaah.
Singkatnya, di samping keadilan, Abu Ubaid membangun suatu Negara islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan kasih saying. Karakteristik tersebut di atas hanya diberikan oleh Allah swt kepada kaum urban. Kaum badui yang tidak memberikan kontribusi sebesar yang telah dilakukan kaum urban, tidak bisa memperoleh manfaat pendapatan fai sebanyak kaum urban. Dalam hal ini, kaum badui tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari Negara. Mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai hanya pada saat terjadi tiga kondisi kritis, yakni ketika terjadi invasi musuh, kemarau panjang dan kerusuhan sipil. Abu Ubaid memperluas cakupan kaum badui dengan memasukkan golongan masyarakat pegunungan dan pedesaan.
Disisi lain, ia memberikan kepada anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil, yang berasal dari pendapatan fai. Pemberian hak ini dilakukan mengingat anak-anak tersebut merupakan penyumbang potensial terhadap kewajiban publik terkait. Lebih lanjut, Abu Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap jatah, yang bukan untuk tunjangan. Dari semua ini, terlihat bahwa Abu Ubaid membedakan antara gaya hidup kaum badui dengan kultur menetap kaum urban dan membangun fondasi masyarakat muslim berdasarkan martabat kaum urban, solidaritas serta kerja sama merasakan komitmen dan kohesi social beriorentasi urban vertikal dan horizontal, sebagai unsure esensial dari stabilitas sosio-politik dan makroekonomi. Mekanisme yang di sebut di atas, meminjam banyak dari universalisme islam, membuat kultur perkotaan lebih unggul dan dominan disbanding kehidupan nomaden. Dari uraian di atas, tampak bahwa Abu Ubaid selalu memelihara dan menjaga keseimbangan antara hak dengan kewajiban masyarakat.
Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah mengenai hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implicit Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah, seperti iqta tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Oleh karena itu, tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, akan didenda dan kemudian dialihkan kepemilikannya oleh penguasa.
Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima pribadi dengan maksud untuk direklamasi, jika tidak ditanami dalam periode yang sama, dapat ditempati oleh orang lain melalui proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diberi pengairan, jika tandus, atau menjadi kering, atau rawa-rawa. Adalah tidak cukup untuk memiliki sepetak tanah mati dan apa yang terkandung didalamnya dengan hanya menggali sebuah sumur atau saluran. Setelah itu, jika tidak diberdayakan atau ditanami selama tiga tahun berturut-turut, hanya harim dari sumber air tersebut yang dapat dimiliki sedangkan yang lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya ditempati orang lain.
Dalam pandangan Abu Ubaid, sember daya publik, seperti air, padang rumput, dan api tidak boleh dimaonopoli seperti hima (tanam pribadi). Seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan Negara yang akan digunakan untuk kebutuhan masyarakat.
Pertimbangan Kebutuhan
Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata diantara delapan kelompok penerima zakat dan cenderung menentukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapapun besarnya, serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Namun, pada saat yang bersamaan, Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan zakat kepada orang-orang yang memiliki 40 dirham atau harta lainnnya yang setara, disamping baju, pakaian, rumah dan pelayan yang dianggapnya sebagai suatu kebutuhan standar hidup minimum. Di sisi lain, biasanya Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham, yakni jumlah minimum yang terkena wajib zakat, sebagai “orang kaya” sehingga mengenakan wajib pajak kepada orang tersebut. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan Abu Ubaid ini mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu:
Kalangan kaya yang terkena wajib zakat
Kalangan menengah yang tidak terkenak wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat
Kalangan penerima zakat
Berkaitan dengan distribusi kekayaan melalui zakat, secara umum, Abu Ubaid mengadopsi prinsip “Bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing”(li kulli wahidin hasba hajatihi). Lebih jauh, ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat atau pajak yang diberikan kepada para pengumpulnya (amil). Pada prinsipnya, ia lebih cenderung pada prinsip bagi setiap orang adalah sesui dengan haknya.
Fungsi Uang
Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagai standar nilai pertukaran (standard of exchange value) dan media pertukaran (medium of exchange). Dalam hal ini ia menyatakan:
“Adalah hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layaj untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaannya untuk membeli sesuatu (infaq)”.
Pernyataan Abu Ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Tampaknya, Abu Ubaid merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai dari kedua benda tersebut dibandingkan dengan komoditas yang lainnya. Jika kedua benda tersebut juga digunakan sebagai komoditas, nilai dari keduanya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan dua peran yang berbeda, yakni sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang-barang lainnya. Di samping itu, sekalipun tidak menyebutkan secara jelas, Abu Ubaid secara implicit mengakui tentang adanya fungsi uang sebagai menyimpan nilai ketika membahas jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat.
Salah satu cirri khas Kitab al-Amwal di antara kitab-kitab lain yang membahas tentang keuangan publik adalah pembahasan tentang timbangan dan ukuran, yang biasa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan harta atau benda, dalam satu bab khusus. Di dalam bab ini, Abu Ubaid juga menceritakan tentang usaha khalifah Abdul Al-Malik ibn Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai jenis mata uang yang ada di dalam sirkulasi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa nama lengkap Abu Ubaid adalah Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia dilahirkan pada tahun 150 H dikota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanista. Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadis dan ahli fiqih terkemuka di masa hidupnya. Selama menjabat qadi di Tarsus, ia sering menangani beberapa kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan sangat baik. Kitab al-Amwal merupakan karya yang sangat sistematis dan komprehensif tentang masalah keuangan publik. Abu Uabid mendasarkan bukunya pada ayat-ayat Al-quran, sunnah Nabi, praktik para khalifah yang salih dan menyelidiki berbagai penafsiran. Pemikiran Abu Ubaid antara lain tentang filosofi hukum dari sisi ekonomi, dokotumi badui (masyarakat tradisional atau desa) ke urban (masyarakat kota), kepemilikan dalam konteks kebijakan perbaikan pertanian, pertimbangan kebutuhan, dan fungsi uang.
Saran
Dengan adanya makalah ini kami berharap para pembaca lebih mengetahui dan memahami bagaimana ekonomi islam yang benar dan setelah kita mengetahui alangkah baiknya mengimplementasikan ekonomi islam itu dalam kehidupan sehari-hari. Semoga makalah ini memberikan suatu wawasamn baru tentang pemikiran ekononomi islam untuk para mahasiswa
Daftar Pustaka
Adiwarman, A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. 2014. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Abdullah, H.Boedi. Peradapan Pemikiran Ekonomi Islam. 2010. Jakarta: Cv. Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar